Kamis, 16 Februari 2012

Glitter Words

Jika berbicara sejarah Kota Probolinggo hal itu tidak akan pernah lepas dari ingatan saya Namun sejarah kali ini bukan sejarah pribadi saya, melainkan sejarah pembentukan kota Probolinggo sejah ratusan tahun silam, yang tentu saja masih jauh dari kata sempurna, karena menurut teman saya yang orang sunda, “sampurna” hanya milik Allah dan tentu saja milik rokok (samp**rna).
Dibandingkan dengan kota-kota pesisir Jawa Timur lainnya seperti Surabaya, Tuban atau Gresik, maka Probolinggo relatif kurang dikenal dimasa lalu. Oleh sebab itu sejarah masa lalunya sebelum jatuh ketangan VOC agak kurang dikenal (red: Valentijn seorang pendeta tentara Balanda yang sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Hindia Belanda antara th. 1724-1726, tidak pernah menyebutkan sama sekali tentang Probolinggo. Peristiwa penting tentang Probolinggo  dari pihak VOC baru muncul pada th. 1761, ketika ada pergantian jabatan penguasa Pantai Utara  dan Timur Laut Jawa, Nicolas Hartingh kepada penggantinya Ossenbergh. Laporan ini antara lain mengatakan bahwa: Banger (nama lama Probolinggo ), meskipun kecil tapi letak bagus ….” Ini membuktikan bahwa Probolinggo pada abad ke 18, sudah menarik perhatian, karena letaknya yang strategis).
Seperti hampir semua kota-kota pesisir Utara Jawa, Probolinggo juga terletak dimuara sungai. Sungai utama yang melalui kota Probolinggo tersebut dulu namanya Kali Banger (red: Banger dalam bahasa Jawa berati bau busuk, yang khas). Itulah sebabnya sampai tahun 1765, Probolinggo masih dikenal dengan nama Banger (red: Yang mengganti nama Banger menjadi Probolinggo adalah Bupati Tumenggung Jayanegara pada tahun 1768; lihat Hageman, Oosterlijk Java en Madoera, II. MS.118, paragraf 72) (Kumar, 1983:82).
Sebelum dikuasai Belanda, kota ini ada di bawah kekuasaan Pakubuwono II dari Mataram. Baru setelah perjanjian tanggal 11 Nopember 1743, antara VOC dan Mataram, Probolinggo diserahkan sepenuhnya kepada VOC (Kumar, 1983:82).
Pada saat penyerahan kota ini kepada VOC, tercatat bahwa Banger (nama Probolinggo dulu), hanya merupakan permukiman dengan sekitar 50 keluarga dan selanjutnya diperintah langsung oleh VOC (Gill, 1995:275). Data sejarah sebelum masa itu sulit di dapat.
Bupati pertama Probolinggo adalah Kyai Jayalelana (Joyolelono, red), yang memerintah atas nama VOC. Kyai Jayalelana adalah anak laki-laki Kyai Bun Jaladriya dari Pasuruan. Tapi pada tahun 1768, Kyai Jayalelana diturunkan dari jabatannya dan kemudian dipenjarakan, karena dianggap oleh pihak VOC tidak setia ketika terjadi puncak konflik antara VOC dan Blambangan pada th.1768 (Kumar, 1983:82). Sampai sekarang Kyai Jayalelana masih dianggap sebagai orang suci bagi masyarakat Probolinggo. Pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), tepatnya pada th. 1810, Probolinggo dijual sebagai tanah pertikelir kepada Kapiten Han Tik Ko (red: Han Tik Ko kemudian dikenal dengan sebutan: “Babah Tumenggung Probolinggo”, yang menempati Kabupaten baru. Letaknya disebelah Selatan Alun-alun. Pada jaman Daendels tidak hanya Probolinggo yang jatuh ketangan orang Cina kaya, tapi juga Besuki dan Panarukan disewakan kepada Han Boeijko (Han Boei Ko) seorang Kapiten dari Surabaia (lihat Rapport van de Landschappen Besoeki en Panaroekan 1813, MS AN, kode; Probolinggo, no.6d, hal.7-8). Lihat juga buku Nusa Jawa (Gramedia Pustaka Umum, Jakarta), Denys Lombard (1996), jilid 2, hal. 81 dan seterusnya) dari Pasuruan, seharga 1.000.000 ringgit (rijksdaalders) (red: Rappoert van het landscap Probolinggo, hal. 22. Pada waktu itu Afdeling Probolinggo luasnya 36.5 mil persegi, yang meliputi 382 desa. Jumlah penduduknya 39.982 jiwa. Terdiri dari 38.800 Pribumi, 629 Cina, 61 Eropa, 22 Melayu dan lain-lain 161 jiwa).
Tapi pada th. 1814 terjadi pemberontakan atas kekuasaan Han Tik Ko. Pemberontakan berdarah tersebut dibantu oleh orang-orang Inggris yang akhirnya Probolinggo dapat dibebaskan kembali. Di sebelah Timur alun-alun Probolinggo didirikan tempat pemakaman bagi perwira-perwira Inggris yang gugur. Sampai th. 1930 pemakaman tersebut masih dipelihara dengan baik. Setelah itu Probolinggo kembali diperintah oleh Belanda sampai th. 1940 an (Gill, 1995:276). Karena letaknya yang strategis dan penting tersebut, sejak th.1855, Probolinggo sudah menjadi ibukota Karesidenan Probolinggo dan kemudian menjadi ibukota  afdeling (sederajat dengan kabupaten), yang termasuk Karesidenan Pasuruan. Sampai th. 1855 daerah sudut Jawa Timur merupakan satu wilayah dengan Besuki sebagai ibukotanya. Sesudah th. 1855, Pasuruan, Probolinggo, Besuki dan Banyuwangi kemudian dijadikan ibukota Karesidenan dengan nama Karesidenannya mengikuti naa-nama ibukotanya. Setelah undang-undang desentralisasi th. 1903 dan disusul dengan pelaksanannya pada th. 1905, Probolinggo punya status sebagai gemeente (kotamadya). Tapi baru pada th. 1918 kota tersebut mempunyai dewan kotamadya (gemeente raad). Dan baru pada th. 1928, Probolinggo dipimpin oleh seorang Asisten Residen, yang kemudian menjadi Walikotanya. Sekarang Probolinggo berstatus Kota sebagai ibukota Kotamadya Probolinggo.
Letak Geografis.
Probolinggo adalah kota pesisir yang terletak disebelah Timur dari propinsi Jatim. Daerahnya merupakan dataran rendah ditepi selat Madura. Meskipun kotanya merupakan dataran rendah tapi pada latar belakang kota tersebut terletak pegunungan Tengger dan gunung Bromo. Itulah sebabnya Probolinggo mempunyai daerah ’hinterland’ yang subur. Di daerah dataran rendahnya orang menanam tebu dan padi. Oleh sebab itu dalam jarak 6 km saja sebelah Selatan dari Probolinggo sudah terdapat 4 buah pabrik gula (Wonolangan, Wonoasih, Sumber Kareng dan Umbul). Probolinggo juga merupakan titik temu yang penting serta pelabuhan regional untuk produk pertanian daerah pedalaman seperti gula, tembakau dan kopi.
Sudah sejak jaman Daendels (18088-1811) Probolinggo mempunyai hubungan infra struktur yang baik dengan kota-kota  lain di Jawa Timur. Probolinggo dilalui oleh Grotepostweg (jalan raya pos), jalan raya yang menghubungkan kota-kota di pantai Utara Jawa mulai dari Anyer di Jawa Barat sampai Panarukan di Jatim.
Jaringan rel kereta api dari Surabaya ke Pasuruan sepanjang 63 km selesai dibangun oleh Stadspoorwegen (SS), pada th. 1878, kemudian diperpanjang sampai Probolinggo sampai 40 km pada th. 1884. Setelah itu pada th. 1895 rel kereta api disambung lagi dari Probolinggo-Klakah. Pada th. 1896 menyusul cabang-cabang ke Lumajang dan Paciran, selanjutnya diteruskan lewat Jember ke Bondowoso, Situbondo dan diteruskan ke pelabuhan Panarukan dengan jarak 151 km, semua ini selesai pada th. 1897. Dengan demikian hubungan dengan rel kereta api dari Probolinggo ke kota-kota lain terutama dengan kota-kota perkebunan Jatim, antara th.1900 sudah terealisir dengan baik. Sampai saat ini kita sama sekali tidak mempunyai peta-peta kota Probolinggo pada jaman prakolonial. Sehingga sulit mencari jejak bentuknya pada jaman prakolonial. Pembentukan morpologi kota secara mantap kelihatannya sudah dimulai dari th. 1850 an(red: Peta tertua tentang Probolinggo sementara yang didapat kurang lebih berangka tahun 1850 `n. Pada waktu itu Probolinggo masih termasuk Karesidenan Besuki).  Pada masa pemerintahan Daendels (1808-1811), Probolinggo dijual kepada Han Tik Ko seorang Kapiten Cina dari Pasuruan. Seorang kaliber Daendels memutuskan untuk menjual Probolinggo kepada swasta, hal ini tentunya sudah di pertimbangkan secara masak (red: Pada waktu itu Daendels memang memerlukan banyak uang untuk membangun infra struktur dan pertahanan P. Jawa). Bila hal ini dihubungkan dengan masalah strategis maka jelaslah bahwa pada masa itu (awal ab`d ke 19), Probolinggo masih dianggap kurang penting. Hal ini disebabkan karena pada waktu itu ujung Timur propinsi Jatim masih belum berkembang karena infra strukturnya yang masih jelek. Arti strategis Probolinggo ini baru terasa setelah ujung Timur daerah Jatim pada pertengahan dan akhir abad ke 19 berkembang menjadi daerah perkebunan besar.
Probolinggo disebutkan dalam catatan perjalanan Poerwolelono (red: Soerio Tjondro Negoro, ed. Reizen van Raden Mas Poerwolelono I. hal. 147-149) sbb: Kota Probolinggo termasuk bagus, hampir mirip dengan ibukota Pasuruan. Rumah Karesidenan kecil, namun bagus. Rumah itu adalah bekas rumah Asisten Residen waktu Probolinggo berada dibawah Karesidenan Besuki. Rumah Bupati berada disebelah Utara kota, kira-kira pada jarak 1 pal dari rumah Residen. Alun-alun Kabupaten amat luas dan sebelah Utaranya terdapat benteng kecil.  Berdasarkan data-data yang ada, dapat dianalisis perkembangan kota Probolinggo mulai dari jaman pra kolonial (sebelum th. 1743) sampai tahun 1940an menjadi empat tahapan.
Tahap 1 (sebelum th. 1743).
Seperti lazimnya tipologi kota-kota pesisir di Jawa, maka pada awalnya sebelum menguasai kota, Belanda mendirikan sebuah pos dagang yang berfungsi ganda sebagai benteng. Benteng tersebut ditempatkan pada porisi yang strategis, yaitu dekat pelabuhan dan sebelah mulut sungai, dengan tujuan supaya lebih mudah dicapai oleh kapal. Di dalam benteng tersebut seperti biasanya terdiri atas pos dagang, dilindungi dengan beberapa bangunan yang dipakai sebagai tempat tinggal dan gudang.
Pada masa prakolonial (sebelum th.1743)
Pada awalnya Belanda hanya mendirikan pos dagang yang berfungsi ganda  sebagai benteng ditepi pantai dan dekat mulut sungai. Diperkirakan pada waktu itu  alun-alun dan bangunan yang ada disekelilignya (Masjid, Kabupaten, dsb.nya) sudah ada. Selain itu juga diduga daerah Pecinan yang memainkan peran utama  dalam pasar domestik sudah ada.
Disamping kota yang sudah ada dari penguasa setempat (inti darikota Jawa biasanya berupa sebuah alun-alun dan bangunan penting di sekelilingnya yaitu rumah Bupati, mesjid dan bangunan penting lainnya), di luar pos dagang Belanda dan inti kota setempat, terdapat daerah hunian orang Cina yang tinggal di kota-kota pantai Utara Jawa. Orang-orang Cina ini memainkan peran utama dalam pasar domestik, baisanya mereka ini juga membangun hubungan mutualistik dengan pedagang Eropa setempat. Jalan utama dari benteng  ke alun-alun kelihatannya sudah dibuat pada waktu itu.
Tahap 2 (th. 1743-1850).
Kota Probolinggo sepenuhnya dikuasai oleh Belanda pada th. 1743. Setelah itu dikuasai oleh “Babah Tumenggung Probolinggo” alias Han Tik Ko (1810-1813), yang berakhir dengan  terbunuhnya “Babah Tumenggung Probolinggo” tersebut dalam suatu pemberontakan rakyat. Selanjutnya Probolinggo ada dibawah kekuasaan Belanda berakhir sampai th. 1940 an.
Pada masa itu Belanda sudah berkuasa penuh atas kota Probolinggo. Pembentukan sumbu utama kota (Heerenstraat- Jl. Suroyo), sudah tampak. Poros utama Benteng – Alun-alun – Kantor Asisten Residen) yang menuju Grotepostweg (jalan raya pos) juga sudah ada.  Sekitar th.1830 an sudah terlihat adanya sumbu utama kota, yang menghubungkan pelabuhan – benteng – alun-alun terus sampai rumah Residen, yang terletak di jalan Raya Pos (Grotepostweg). Di depan rumah Residen tersebut terdapat kandang kuda yang digunakan untuk kereta pos. Disamping sumbu utama tersebut juga sudah ada dua jalan yang mengapitnya , serta sekalian dengan jalan yang melintang. Kawasan Pecinan masih merupakan daerah hunian yang tidak teratur. Jadi morpologi kota Probolinggo sudah terbentuk pada th. 1850an.
Tahap    3(thun1850-1880an).
Antara th. 1850 sampai 1880 an merupakan proses pembentukan kota yang permanen. Pusat kota diperluas secara simetri dengan kawasan kota Barat dan Timur. Disebelah Selatan dari jalan raya pos (Grotepostweg), dimana terletak rumah Residen, dimasukkan dalam blok kota dengan cara membangun jalan lurus dibelakang rumah tersebut, kemudian pada kedua ujungnya dibuat melengkung kearah jalan  raya pos, dan menyatu dengan jalan-jalan yang paling tepi yang mengelilingi blok kota.
Dengan demikian terbentuklah sudah sebuah morpologi kota yang kompak dan simetri, dengan Jl. Suroyo (dulu Heerenstraat) sebagai sumbunya. Bentuk segi empat tersebut berukuran 1.2 Km x 1.3 Km, dengan luas kurang lebih 160 HA. Kawasan baru sebelah Barat ditempatkan kampung Arab dan kampung Melayu.
Kawasan Timur tata letaknya agak kurang teratur, hal ini disebabkan karena ada kali Banger yang melintasi kawasan tersebut menuju Timur Laut. Disebelah kali Banger adalah kawasan perdagangan bagi orang Cina, sedangkan disebelah Timur dari Kali tersebut adalah kawasan tempat tinggal orang Cina, dengan kelenteng yang terletak diujung sebelah Utara daerah tersebut.
Tahap    4(thun1880-1940an)
Pada tahap ini morpologi kotanya boleh dikatakan hampir tidak berkembang. Tambahan yang penting antara th. 1880 an dibuat daerah hunian bagi penduduk setempat disebelah Timur kota (kurang lebih 25 HA). Antara daerah disebelahTimur yang sudah ada dengan daerah hunian Pribumi terdapat lajur-lajur panjang yang belum dikapling. Hal ini bisa artikan sebagai jalur peredam yang dibuat untuk pengawasan dan keamanan bagi kepentingan masayarakat kolonial. Kawasan ini dibangun terakhir bersama dengan bangkitnya Probolinggo sebagai pelabuhan angkutan hasil bumi dari sudut Timur Jatim dan industri gula serta pabrik penggilingan padi. Semuanya ini memerlukan banyak orang-orang Pribumi sebagai tenaga kerja.
Selain  daripada itu pada akhir abad ke 19 juga dibangun rel kereta api yang melewati Probolinggo sehingga dibangun sebuah stasiun kereta api di depan alun-alun. Rel kereta api inijuga menuju ke pelabuhan dengan maksud untuk mengangkut hasil bumi dari pelabuhan untuk di distribusikan ke Surabaya. Jadi antara th. 1881-1940 an morplogi kota Probolinggo boleh dikatakan tidak mengalami perubahan yang berarti.
Bentuk kerangka utama kota Probolinggo sebenarnya berupa segi empat yang kompak. Tata letak kotanya tampak teratur dan simetri dengan patok`n sumbu utama Utara-Selatan yanf sangat jelas. Pada ujung-ujung sumbu utama tersebut terdapat elemen kota kolonial Jawa yang penting sebagai pusat kontrol kekuasaan administratif yaitu: kantor  Asisten Residen (diujung bagian Selatan) sebagai pusat adminstratif kekuasaan kolonial yang tertinggi di kota tersebut, dan alun-alun (diujung bagian Utara), sebagai simbol pusat pemerintahan Pribumi (red: Disekitar laun-alun pasti terdapat kantor Bupatidan mesjid yang terletak disebelah Barat alun-alun. Alun-alun ini diduga sudah ada sebelum orang Belanda berkuasa). Disebelah Utara dari alun-alun terdapat sebuah stasiun kereta api. Dibelakang stasiun tersebut terdapat sebuah tangsi militer yang oleh orang-orang setempat disebut benteng (red: Tangsi tersebut dulunya memang merupakan benteng Belanda yang merupakan pangkalan pertama orang Belanda mengnjakkan kainya di Probolinggo).
Dibelakang benteng tersebut terletak pelabuhan. Pada bagian Timur dan Barat dari sumbu utama (Jl. Suroyo- dulu bernama Heerenstraat) tersebut terdapat jalan besar yang sejajar dan jalan melintang yang memotong tegak lurus sumbu utama sehingga membentuk suatu pola grid yang nyaris simetri. Jalan yang membentuk sumbu utama (Jl. Suroyo), sekaligus bisa berfungsi sebagai ruang luar kota dan sebagai ruang publik kota. Bila terjadi prosesi arak-arakan , maka publik bisa berkumpul di alun-alun dan diakhiri di halaman depan kantor Asisten Residen, sebagai simbol penguasa kota kolonial.
Untuk menambah estetika jalan utama (Heerenstraat- sekarang Jl. Suroyo), tersebut maka dikanan kiri jalannya ditanam pohon asem yang rindang (red: Sekarang pohon tersebut sudah ditebang, sehingga Jl. Suroyo sekarang terkesan agak panas). Sepanjang jalan utama itu berdiri gedung-gedung pemerintahan yang penting. Penataan kota seperti ini mengingatkan kita pada penyususnan kota-kota Eropa pada jaman renaissance, yang condong ditata secara simetri dengan pemandangan kiri dan kanan jalan dengan barisan pepohonan, kemudian diakhiri dengan suatu focal point berupa bangunan monumental atau ruang terbuka kota. Di Probolinggo ini ruang terbuka kotanya adalah alun-alun dan bangunan monumental adalah kantor Asisten Residen.
Dengan penataan kota seperti ini Probolinggo kelihatan sangat teratur sekali. Tidak salah kalau van Geldern menulis tentang kota Probolinggo pada th. 1893 sebagai berikut (Gill, 1996:277): “De stad is beter aangelegd dan het oud gedeelte van Batavia, Semarang en Soerabaia. De straten zijn breed en kruisten elkaar rechthoeking”  (Kot` ini ditata lebih baik dibanding bagian lama kota Batavia, Semarang dan Soerabaia. Jalannya lebar-lebar dan saling memotong dengan tegak lurus) Jalan kereta api yang menghubungkan Probolinggo dengan Surabaya atau kota-kota lainnya di ujung Jawa Timur yang selesai pada th. 1898 mengambil jalan diluar segi empat utama bentuk kota. Relnya dilewatkan disebelah Utara kota sehingga tidak mengganggu lalu lintas dalam kota. Stasiunnya berorientasi ke palabuhan. Stasiun sengaja diletakkan pada sumbu kota. Hal ini menunjukkan bagaimana pentingnya peran infra struktur sebagai arti ekonomi terhadap perancangan kota secara keseluruhan
Penduduk Madura hanya ada beberapa ratus orang saja . Mereka ini bertempat tinggal di daerah Utara dekat pelabuhan. Kampung Madura biasanya dihuni oleh para nelayan. Namanya daerah Mayangan, yang artinya orang-orang perahu. Daerah pelabuhan didominasi dengan kegiatan pelabuhan serta gudang-gudang penyimpanan gula, kopi dan tembakau untuk kepentingan orang-orang Eropa. Sampai akhir tahun 1960 an meskipun perkembangan penduduknya bertambah beberapa kali lipat, tapi kerangka dasar dari tata letak kota Probolinggo masih tetap belum berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar